UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
|
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
|
|
|
b.
|
bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai
arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa,
memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antarbangsa;
|
|
|
c.
|
bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan
teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan
yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap
telekomunikasi;
|
|
|
d.
|
bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan
perubahan mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap
telekomunikasi tersebut, perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali
penyelenggaraan telekomunikasi nasional;
|
|
|
e.
|
bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas,
maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang
tidak sesuai lagi, sehingga perlu diganti;
|
Mengingat
|
:
|
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945;
|
|
|
Dengan persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
|
Menetapkan
|
:
|
UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI.
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
|
|
|
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Telekomunikasi adalah setiap pemancaran,
pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk
tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem
kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya;
Alat telekomunikasi adalah setiap alat
perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat
telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah segala
sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
|
|
|
a.
|
Pemancar radio adalah alat telekomunikasi
yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
|
|
|
b.
|
Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat
telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
|
|
|
c.
|
Jasa telekomunikasi adalah layanan
telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan
menggunakan jaringan telekomunikasi;
|
|
|
d.
|
Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan,
koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan
negara;
|
|
|
e.
|
Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum,
instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi berdasarkan kontrak;
|
|
|
f.
|
Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi
pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
|
|
|
g.
|
Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
|
|
|
h.
|
Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan
penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan
terselenggaranya telekomunikasi;
|
|
|
i.
|
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah
kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang
memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
|
|
|
j.
|
Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah
kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang
memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
|
|
|
k.
|
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah
penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya
khusus;
|
|
|
l.
|
Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan
telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;
|
|
|
m.
|
Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.
|
|
|
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas
manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan
kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk
mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan
kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
BAB III
PEMBINAAN
Pasal 4
|
|
|
(1)
|
Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan
pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
|
|
|
(2)
|
Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk
meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan
kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian.
|
|
|
(3)
|
Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan
dan pengendalian di bidang telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran
dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.
|
|
|
Pasal 5
|
|
|
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan pembinaan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah melibatkan peran serta
masyarakat.
|
|
|
(2)
|
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam
masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka
penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan di bidang
telekomunikasi.
|
|
|
(3)
|
Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk
untuk maksud tersebut.
|
|
|
(4)
|
Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang usaha
telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen
peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan, dan jasa
telekomunikasi serta masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
|
|
|
(5)
|
Ketentuan mengenai tata cara peran serta
masyarakat dan pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
Pasal 6
Menteri bertindak sebagai penanggung jawab
administrasi telekomunikasi Indonesia.
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
|
|
|
(1)
|
Penyelenggaraan
telekomunikasi meliputi:
|
|
|
|
a.
|
penyelenggaraan
jaringan telekomunikasi;
|
|
|
|
b.
|
penyelenggaraan
jasa telekomunikasi;
|
|
|
|
c.
|
penyelenggaraan
telekomunikasi khusus.
|
|
|
(2)
|
Dalam
penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
|
|
|
|
a.
|
melindungi
kepentingan dan keamanan negara;
|
|
|
|
b.
|
mengantisipasi
perkembangan teknologi dan tuntutan global;
|
|
|
|
c.
|
dilakukan
secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
|
|
|
|
d.
|
peran
serta masyarakat.
|
|
|
Bagian Kedua
Penyelenggara
Pasal 8
|
|
|
(1)
|
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan
untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yaitu:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta; atau
d. koperasi.
|
|
|
(2)
|
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh:
|
|
|
|
a.
|
perseorangan;
|
|
|
|
b.
|
instansi pemerintah;
|
|
|
|
c.
|
badan hukum selain penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
|
|
|
(3)
|
Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
|
|
Pasal 9
|
|
|
(1)
|
Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
|
|
|
(2)
|
Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi,
menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara
jaringan telekomunikasi.
|
|
|
(3)
|
Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dapat menyelenggarakan telekomunikasi
untuk:
|
|
|
|
a.
|
keperluan sendiri;
|
|
|
|
b.
|
keperluan pertahanan keamanan negara;
|
|
|
|
c.
|
keperluan penyiaran.
|
|
|
(4)
|
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi
untuk keperluan:
|
|
|
|
a.
|
perseorangan;
|
|
|
|
b.
|
instansi pemerintah;
|
|
|
|
c.
|
dinas khusus;
|
|
|
|
d.
|
badan hukum.
|
|
|
(5)
|
Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
Bagian Ketiga
Larangan Praktek Monopoli
Pasal 10
|
|
|
(1)
|
Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.
|
|
|
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
|
|
Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11
|
|
|
(1)
|
Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari
Menteri.
|
|
|
(2)
|
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
dengan memperhatikan:
a. tata cara yang sederhana;
b. proses yang transparan, adil dan tidak
diskriminatif; serta
c. penyelesaian dalam waktu yang singkat.
|
|
|
(3)
|
Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12
|
|
|
(1)
|
Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau
pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat
memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki
atau dikuasai Pemerintah.
|
|
|
(2)
|
Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku pula terhadap sungai,
danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.
|
|
|
(3)
|
Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan
jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung
jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
|
|
Pasal 13
Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan
atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan
pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi
setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.
Pasal 14
Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang
sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi
dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
|
|
|
(1)
|
Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara
telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan
berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.
|
|
|
(2)
|
Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara
telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan
oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
|
|
|
(3)
|
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan
penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
Pasal 16
|
|
|
(1)
|
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam
pelayanan universal.
|
|
|
(2)
|
Kontribusi pelayanan universal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana
telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
|
|
|
(3)
|
Ketentuan kontribusi pelayanan universal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
Pasal 17
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan
telekomunikasi berdasarkan prinsip:
|
|
|
a.
|
perlakuan yang sama dan pelayanan yang
sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
|
|
|
b.
|
peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan
telekomunikasi; dan
|
|
|
c.
|
pemenuhan standar pelayanan serta standar
penyediaan sarana dan prasarana.
|
|
|
Pasal 18
|
|
|
(1)
|
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan
oleh pengguna telekomunikasi.
|
|
|
(2)
|
Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman
pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
|
|
|
(3)
|
Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian
jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
|
|
|
Pasal 19
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih
jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Pasal 20
Setiap
penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman,
penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut:
a. keamanan
negara;
b. keselamatan
jiwa manusia dan harta benda;
c. bencana
alam;
d. marabahaya;
dan atau
e. wabah
penyakit.
|
|
|
Pasal 21
Penyelenggara
telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan,
keamanan, atau ketertiban umum.
Pasal 22
Setiap
orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
(1) akses
ke jaringan telekomunikasi; dan atau
(2) akses
ke jasa telekomunikasi; dan atau
(3) akses
ke jaringan telekomunikasi khusus.
|
|
|
Bagian Keenam
Penomoran
Pasal 23
|
|
|
(1)
|
Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan
jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem penomoran.
|
|
|
(2)
|
Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri.
|
|
|
Pasal 24
Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan
berdasarkan sistem penomoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
|
|
|
(1)
|
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi
berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan
telekomunikasi lainnya.
|
|
|
(2)
|
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib
menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi lainnya.
|
|
|
(3)
|
Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip:
a. pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perangkat
telekomunikasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling
merugikan.
|
|
|
(4)
|
Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan
telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
Pasal 26
|
|
|
(1)
|
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak
penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan.
|
|
|
(2)
|
Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
|
|
Bagian Kedelapan
T a r i f
Pasal 27
Susunan tarif penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Besaran tarif penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan
formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Pasal 29
|
|
|
(1)
|
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf b, dilarang disambungkan
ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
|
|
|
(2)
|
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c, dapat disambungkan ke jaringan
penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan
penyiaran.
|
|
|
Pasal 30
|
|
|
(1)
|
Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi
dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di
daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan
telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
|
|
|
(2)
|
Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi
dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelenggara
telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
|
|
|
(3)
|
Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
Pasal 31
|
|
|
(1)
|
Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus
untuk keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu mendukung kegiatannya,
penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan atau
memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan oleh
penyelenggara telekomunikasi lainnya.
|
|
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
Bagian
Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi,
Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Pasal 32
|
|
|
(1)
|
Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan,
dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik
Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
|
|
(2)
|
Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
|
|
Pasal 33
|
|
|
(1)
|
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit
satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.
|
|
|
(2)
|
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit
satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
|
|
|
(3)
|
Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian
penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
|
|
|
(4)
|
Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
Pasal 34
|
|
|
(1)
|
Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar
biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan
jenis dan lebar pita frekuensi.
|
|
|
(2)
|
Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak
penggunaan orbit satelit.
|
|
|
(3)
|
Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
Pasal 35
|
|
|
(1)
|
Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal
berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesiadan atau yang
dioperasikan di wilayah perairan Indonesia, tidak diwajibkan memenuhi
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
|
|
|
(2)
|
Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh
kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia di luar
peruntukannya, kecuali:
|
|
|
|
a.
|
untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan
jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah,
navigasi, dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau
|
|
|
|
b.
|
disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang
dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
|
|
|
|
c.
|
merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit
yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
|
|
|
(3)
|
Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi
radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
|
|
Pasal 36
|
|
|
(1)
|
Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh
pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia tidak
diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
|
|
|
(2)
|
Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh
pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia di luar
peruntukannya, kecuali:
|
|
|
|
a.
|
untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan
jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah,
navigasi, dan keselamatan lalu lintas penerbangan; atau
|
|
|
|
b.
|
disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang
dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
|
|
|
|
c.
|
merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit
yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.
|
|
|
(3)
|
Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi
radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
|
|
Pasal 37
Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi
yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di
Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.
Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal 38
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 39
|
|
|
(1)
|
Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan
pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan
telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi.
|
|
|
(2)
|
Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
Pasal 40
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan
penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi
dalam bentuk apapun.
Pasal 41
Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian
fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi,
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian
fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi
dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
|
|
|
(1)
|
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa
telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi
yang diselenggarakannya.
|
|
|
(2)
|
Untuk keperluan proses peradilan pidana,
penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan
atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan
informasi yang diperlukan atas:
|
|
|
|
a.
|
permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala
Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
|
|
|
|
b.
|
permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu
sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
|
|
|
(3)
|
Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan
pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
Pasal 43
Pemberian
rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna
jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk
kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (2), tidak merupakan pelanggaran Pasal 40.
BAB V
P E N Y I D I K A N
Pasal 44
|
|
|
(1)
|
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang telekomunikasi.
|
|
|
(2)
|
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berwenang:
|
|
|
|
a.
|
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
|
|
|
|
b.
|
melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau
badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
|
|
|
|
c.
|
menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
|
|
|
|
d.
|
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi atau tersangka;
|
|
|
|
e.
|
melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak
pidana di bidang telekomunikasi;
|
|
|
|
f.
|
menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
|
|
|
|
g.
|
menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak
pidana di bidang telekomunikasi;
|
|
|
|
h.
|
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan
|
|
|
|
i.
|
mengadakan penghentian penyidikan.
|
|
|
(3)
|
Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
|
|
|
BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat
(1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26
ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33
ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi
administrasi.
Pasal 46
|
|
|
(1)
|
Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 berupa pencabutan izin.
|
|
|
(2)
|
Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
|
|
|
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat
(2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau
denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit,
memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara
Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Pasal 53
|
|
|
(1)
|
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
|
|
|
(2)
|
Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun.
|
|
|
Pasal 54
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan
dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52
atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,
Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal
55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, penyelenggara
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989
tentang Telekomunikasi, tetap dapat menjalankan kegiatannya dengan
ketentuan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang
ini dinyatakan berlaku wajib menyesuaikan dengan Undang-undang ini.
Pasal 61
|
|
|
(1)
|
Dengan berlakunya Undang-undang ini, hak-hak
tertentu yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara
untuk jangka waktu tertentu berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989
masih berlaku.
|
|
|
(2)
|
Jangka waktu hak tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dapat dipersingkat sesuai dengan kesepakatan antara
Pemerintah dan Badan Penyelenggara.
|
|
|
Pasal 62
Pada saat Undang-undang ini berlaku, semua
peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3391) masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan
atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 64
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun
terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
SUMBER:
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar